Home » » TAFSIR TEMATIK Surat AL-MAIDAH ayat 67

TAFSIR TEMATIK Surat AL-MAIDAH ayat 67

Written By Unknown on Saturday, July 6, 2013 | 9:36:00 PM



Qs. Al-maidah ayat 67 


يَأَيهَا الرَّسولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْك مِن رَّبِّك وَ إِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْت رِسالَتَهُ وَ اللَّهُ يَعْصِمُك مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لا يهْدِى الْقَوْمَ الْكَفِرِينَ‏
Artinya : “Wahai Rasul, sampaikan apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika kamu tidak melakukan berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjagamu dari bahaya manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
Makna yang terkandung dalam ayat ini: Sampaikan bagian yang terpenting dari risalah Tuhanmu, jika kamu tidak melakukannya berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya.

1.      Asbabun Nuzul :
Pada awalnya Nabi merasa takut untuk menyampaikan risalah kenabian. Namun karena ada dukungan langsung dari Allah maka keberanian itu muncul. Dukungan dari Allah sebagai pihak pemberi wewenang menimbulkan semangat dan etos dakwah nabi dalam menyampaikan risalah. Nabi tidak sendirian, di belakangnya ada semangat “Agung”, ada pemberi motivasi yang sempurna yaitu Allah SWT. Begitu pun dalam proses pembelajaran harus ada keberanian, tidak ragu-ragu dalam menyampaikan materi. Sebab penyampaian materi sebagai pewarisan nilai merupakan amanat agung yang harus diberikan. Bukankah nabi berpesan ; “yang hadir hendaknya menyampaikan kepada yang tidak hadir”.

 Sehingga Allah berfirman sebagai penegasan dukungan keselamatan :
وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ = Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia
Imam AL-Qurtubi memperjelas dalam konteks kerisalahan nabi sebagai rasul. Beliau mengungkapkan sebab rasul tidak berani menyampaikan risalah kenabian secara terang-terangan.

2.      Tafsiran :
 (Hai Rasul, sampaikanlah) semua- (yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) dan janganlah kamu menyembunyikan sesuatupun dari pada-Nya karena takut akan mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan - (Dan jika tidak kamu lakukkan) tidak kamu sampaikan semua yang diturunkan kepadamu itu- (berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya). “Risalah” dengan tunggal atau jamak, karena menyembunyikan sebagian berarti menyembunyikan semuanya- (Dan Allah memelihara kamu dari manusia) agar tidak sampai membunuhmu. Pada mulanya Rasulullah SAW itu dikawal sampai turun ayat ini, lalu sabdanya: “Pergilah karena sesungguhnya Allah Memeliharaku!” Riwayat Hakim. (sesungguhnya Allah tidak memberikan bimbingan kepada kaum yang kafir).

3.      Penjelasan :

Nabi Muhammad adalah teladan di dalam alam nyata. Mereka memperhatikan beliau, sedangkan beliau adalah manusia seperti mereka lalu melihat bahwa sifat-sifat dan daya-daya itu menampakan diri di dalam diri beliau. Mereka menyaksikan hal itu secara nyata di dalam diri seorang manusia. Oleh karena itu hati mereka tergerak dan perasaan mereka tersentuh. Mereka ingin mencontoh rasul, masing-masing sesuai dengan kemampuannya dan sesuai dengan kesanggupannya meningkat lebih tinggi. Semangat mereka tidak mengendur, perhatian mereka tidak dipalingkan, serta tidak membiarkannya menjadi impian kosong yang terlalu muluk, karena mereka melihatnya dengan nyata hidup di alam nyata, dan menyaksikan sendiri kepribadian itu secara konkrit bukan omong kosong di alam khayal.

Oleh karena itu rasululloh s.a.w merupakan teladan terbesar buat umat manusia, beliau adalah seorang pendidik seorang yang memberi petunjuk kepada manusia dengan tingkah lakunya sendiri terlebih dahulu sebelum dengan kata-kata yang baik, dalam hal ini al-quran dan hadits menyebutkannya.

Hadis-hadis yang shahih dan mutawatir yang bersumber dari Ibnu Abbas, Jabir Al-Anshari, Abu Said Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Barra’ bin Azib dan Abu Hurairah menyatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw dalam haji wada’ untuk memproklamirkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib (sa) di Ghadir Khum.

Pendapat di kalangan Ahlussunnah Tentang sebab turunnya ayat ini kitab-kitab Ahlussunnah menyebutkan riwayat-riwayat hadis yang sangat bervariatif. Jika kita pahami secara teliti riwayat-riwayat itu dapat kita kelompokkan ke dalam enam pendapat.

Pendapat yang pertama Ayat ini turun pada awal kenabian. Ayat ini turun karena Nabi saw takut kepada orang-orang kafir dalam menyampaikan risalah Allah swt. Setelah mendapat jaminan dari ayat ini Nabi saw merasa aman dalam menyampaikan risalah-Nya. Kesimpulan pendapat ini: ayat ini turun 23 tahun sebelum turunnya surat Al-Maidah.
Pendapat ini berdasarkan riwayat yang semakna dengan riwayat yang bersumber dari Abu Asy-Syaikh bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah, lalu aku merasa khawatir dan aku tahu bahwa manusia akan mendustakanku; kemudian Allah memberi jaminan kepadaku untuk menyampaikan risalah atau mengazabku, lalu Allah menurunkan (ayat ini) Ya Ayyuhar Rasul balligh ma unzila ilayka mir Rabbika.
Riwayat ini terdapat dalam:
1. Ad-Durrul mantsur As-Suyuthi jilid 2 halaman 298.
2. Asbabun Nuzul Al-Wahidi, jilid 1 halaman 438.


 Pendapat yang kedua Ayat ini turun di Mekkah sebelum hijrah.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Jabir Al-Anshari, ia berkata: Jika Rasulullah saw akan keluar rumah datanglah Abu Thalib untuk mendampingi dan menjaganya. Sehingga turunlah ayat Wallahu ya’shika minannas. Kemudian datang lagi Abu Thalib ketika Rasulullah saw hendak pergi, lalu beliau berkata kepadanya: “Wahai pamanku, Allah telah menjagaku, karena itu aku tidak butuh pendamping untuk menjagaku.” (Ad-Durrul Mantsur 2: 298-299).

Thabrani, Abu Asy-Syaikh dan Abu Naim meriwayatkan dalam kitab Ad-Dalail, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi saw perlu pendamping untuk menjaganya, maka diutuslah Abu Thalib untuk mendampinginya. Setiap hari tokoh-tokoh dari Bani Hasyim menjaganya. Kemudian Nabi saw bersabda: Wahai pamanku, Allah telah menjagaku sehingga aku tidak perlu lagi pendamping untuk menjagaku. (Mu’jam Al-Kabir, Ath-Thabrani 11: 205).

Pendapat yang ketiga Ayat ini turun di Madinah tanpa ada peristiwa yang penting. Suyuthi mengutip beberapa riwayat yang berkaitan dengan ayat ini bahwa Nabi saw tidak perlu adanya penjagaan, baik di Mekkah maupun di Madinah.

Suyuthi mengatakan dalam kitabnya Ad-Drrul Mantsur 2: 298-299:
Thabrani dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari ‘Ishmah bin Malik Al-Khathami, ia berkata: kami menjaga Rasulullah saw pada malam hari, sehingga turunlah ayat ini, maka kami tidak perlu lagi menjaga beliau.

Ibnu Jarir dan Abu Asy-Syaikh meriwayatkan Said bin Jubair, ia berkata: Ketika ayat ini turun Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian menjagaku, karena Tuhanku telah menjagaku.”

Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq bahwa Rasulullah saw selalu diikuti sekelompok sahabatnya sehingga turun ayat ini. Ketika turun ayat ini Nabi saw keluar rumah dan bersabda: “Jagalah siapa yang perlu kalian jaga, karena Allah telah menjagaku dari bahaya manusia.”

Abd bin Hamid, Ibnu Jarir dan Abu Syaikh meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’b Al-Qurazhi bahwa Rasulullah saw senantiasa butuh penjagaan sahabatnya, sehingga turun ayat ini, dan mereka tidak menjaga beliau setelah ada berita Nabi saw dijaga oleh Allah dari bahaya manusia.
Benarkah Rasulullah saw tidak perlu dijaga? Sementara banyak riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tetap dijaga baik di Mekkah maupun di Madinah sampai beliau wafat.
Di antara hadis-hadis tentang sirah Nabi saw yang disepakati adalah beliau mengharapkan kabilah-kabilah arab untuk menjaganya dan melindunginya dari rencana-rencana pembunuhan agar beliau dapat menyampaikan risalah Allah azza wa jalla. Para sahabat Anshar berbaiat kepada Nabi saw, dengan baiat Aqabah, untuk menjaga Nabi saw dan menjaga Ahlul baitnya sebagaimana mereka menjaga diri mereka dan keluarga mereka. Dengan demikian, sekiranya ayat ini turun di Mekkah, niscaya tidak perlu semua penjagaan itu.
Kitab-kitab hadis, tafsir dan tarikh di kalangan Ahlussunnah dipenuhi oleh riwayat-riwayat tentang penjagaan terhadap Nabi saw di Mekkah dan di Madinah, khususnya dalam peperangan, sampai beliau wafat.

Musnad Ahmad 2: 222 meriwayatkan bahwa pada tahun perang Tabuk Rasulullah saw melakukan shalat malam, tokoh-tokoh sahabat berkumpul di belakang Nabi saw untuk menjaganya.

Kita tahu bahwa perang Tabuk itu terjadi pada akhir tahun dari kehidupan Nabi saw. Riwayat ini sebenarnya sudah cukup untuk menolah pendapat tersebut. Riwayat ini dijadikan pegangan oleh para ahli hadis, penulis-penulis kitab Sirah untuk menjelaskan penjagaan terhadap Nabi saw, kisah-kisahnya, nama-nama mereka dan kisah-kisah mereka.

Anehnya, sebagaimana kita cermati, sebagian mereka menyebutkan tentang perlunya penjagaan terhadap Nabi saw, kemudian mengatakan tidak perlu lagi penjagaan setelah ayat ini turun di Mekkah sebelum hijrah atau sesudah hijrah. Seolah-olah mereka mengingkari janji dan berusaha menjauhkan ayat ini dari peristiwa Al-Ghadir.

Orang yang menjaga Nabi saw di siang hari dalam perang Badar ketika beliau tidur: Sa’d bin Mu’ad. Dalam perang Uhud: Muhammad bin Musallamah. Dalam perang Khandaq: Zubair bin Awwam. Yang menjaga malam hari dalam perang Khaibar: Abu Ayyub Al-Anshari. Kemudian Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, jagalah Abu Ayyub sebagaimana ia tidak tidur untuk menjagaku.” Adapun yang menjaga di lembah-lembah pegunungan: Bilal, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Dzikwan bin Abdu Qais; di bawah pimpinan ‘Ubbad bin Basyir. Ketika ayat ini turun, mereka meninggalkan penjagaan. (‘Uyunul Atsar 2: 402)

Kesimpulannya, pendapat yang mengatakan bahwa Nabi saw tidak perlu lagi penjagaan, tidak punya dalil dari Sirah Nabi saw, justru dalil yang mereka gunakan bertentangan dengan Sirah Nabi saw. Yakni, Bani Hasyim menjaga Nabi saw di Mekkah sampai beliau hijrah, kemudian sebagian sahabat-sahabatnya menjaga beliau di Madinah sampai beliau wafat.


Pendapat yang keempat Ayat ini turun di Madinah pada tahun kedua hijrah, sesudah perang Uhud. Suyuthi mengutip riwayat dalam Ad-Durrul Mantsur 2: 291: Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Athiyah bin Sa’d, ia berkata: Ubadah bin Shamit dari Bani Harits bin Khazraj datang kepada Rasulullah saw, lalu ia berkata: Ya Rasulallah, aku punya pemimpin dari yahudi yang jumlahnya banyak, dan aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari kepemimpinan yahudi, aku berpemimpin kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian Abdullah bin Ubay berkata: Aku takut pada segala yang memusingkan, dan aku tidak berlepas dari kepemimpinan para pemimpin. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Wahai Aba Hubbab, tahukah kamu orang yang dituju oleh Ubadah tentang kepemimpinan yahudi, dia adalah kamu bukan yang lain. Kemudian aku menghadap, lalu turunlah ayat ini.

Pendapat yang kelima Ayat ini turun ketika ada seseorang berusaha memperdaya dan membunuh Nabi saw dalam perang Bani Anmar yang dikenal Dzatur Riqa’.
As-Suyuthi mengutip riwayat ini dalam kitabnya Ad-Durrul Mantsur 2: 298-299: Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Ketika Rasulullah saw berada dalam peperangan Bani Anmar, beliau berhenti di Dzat Ar-Riqa’. Ketika beliau sedang duduk di dekat sumur dan menyelonjorkan kedua kakinya, Ghaurits bin Harits berkata: Aku akan membunuh Muhammad. Kemudian para sahabatnya berkata kepadanya: Bagaimana mungkin kamu bisa membunuhnya? Aku berkata kepadanya: Berikan pedangmu padaku, jika ia memberikan pedangnya kepadaku aku akan membunuhnya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan berkata: Wahai Muhammad, berikan pedangmu padaku, aku ingin melihatnya. Rasulullah saw memberikannya, dan ia gemetar tangannya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Kekuatan Allah berada di antara aku dan keinginanmu.” Ketika itulah Allah menurunkan ayat Ya Ayyuhar Rasul balligh ma unzila ilayka min Rabbika …
Dalam riwayat yang lain menyebutkan: Ketika Rasulullah saw berhenti di suatu tempat yang dipilihkan oleh para sahabatnya di dekat pohon, kemudian beliau tertidur di bawah pohon itu. Kemudian datanglah seorang arab dusun lalu menghunus pedangnya dan berkata: Siapakah yang akan menghalangimu dariku? Rasulullah saw menjawab: Allah. Maka gemetarlah tangan orang arab dusun itu dan jatuhlah pedangnya. Perawi riwayat ini mengatakan: Ia tertimpa oleh pohon sampai berserakan otaknya. Ketika itulah Allah menurunkan ayat ini.
Benarkah ayat ini turun dalam peristiwa tersebut? Dalam Sirah Ibnu Hisyam 3: 225 disebutkan: Perang Bani Anmar (Dzat Ar-Riqa’) terjadi pada tahun keempat hijrah. Yakni, beberapa tahun sebelum turunnya Surat Al-Maidah.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam 3: 227 disebutkan: bahwa kisah Ghaurits tidak berkaitan dengan turunnya Surat Al-Maidah: 67, tetapi berkaitan dengan turunnya Surat Al-Maidah: 11. Ini pun tidak benar, karena ayat ini termasuk ke dalam surat Al-Maidah.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa perang Dzat-Ar-Riqa’ berkaitan dengan disyariatkannya shalat Khauf, tidak berkaitan dengan Surat Al-Maidah: 67. Riwayat ini terdapat di dalam:
1. Shahih Bukari jilid 5, halaman 53: Bersumber dari Jabir bin Abdullah (ra).
2. Mustadrak Al-Hakim jilid 3, halaman 29; Al-Hakim mengatakan: riwayat ini shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim.
3. Musnad Ahmad jilid 3, halaman 364 dan 390; dan jilid 4 halaman 59.
4. Majma’ Az-Zawaid 8: 9.

 5. Al-Kafi 8: 127.
Pendapat yang keenam Penutur riwayat dalam kelompok ini tidak menyebutkan tahun dan peristiwa penting turunnya ayat ini, mereka hanya mengatakan bahwa ayat ini turun untuk menguatkan Nabi saw dalam hal kewajiban menyampaikan risalah.
Ad-Durrul Mantsur 2: 299 mengutip riwayat yang bersumber dari Abd bin Hamid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy-Syaikh dari Qatadah tentang ayat ini, ia berkata: Allah telah memberitakan kepada Nabi saw bahwa Dia akan melindungi dan menjaganya dari bahaya manusia, dan memerintahkan kepadanya agar menyampaikan risalah-Nya. Diberitakan kepada kami bahwa Nabi saw pernah ditanyai: Sekiranya engkau dijaga oleh Allah? Nabi saw menjawab: “Demi Allah, Allah tidak akan membiarkan aku dari bahaya manusia apa yang kutinggalkan pada mereka sesudahku.”
Pendapat ini mirip pendapat yang pertama hanya tidak menyebutkan fokus peristiwanya. Pendapat ini sudah terbantah oleh pendapat sebelumnya. Apalagi riwayat ini tidak sesuai dengan makna yang terkandung di dalam surat Al-Maidah: 67.



Renungan bagi kita Mengapa terjadi bermacam-macam riwayat hadis yang saling berbeda secara subtasial? Apakah sahabat-sahabat Nabi saw tidak mengetahui secara pasti kapan dan apa latar belakang turunnya ayat ini? Apakah mereka tidak berada di dekat Nabi saw ketika ayat ini turun? Atau mereka tidak bertanya kepada Nabi saw? Mungkinkah Nabi saw tidak menjelaskan ayat ini kepada mereka? Ataukah sebagian ulama pasca sahabat yang membelokkan penjelasan sahabat Nabi saw? Jawabannya: Bagi para sahabat Nabi saw tidak mungkin tidak mengetahui secara pasti peristiwa ini, karena hampir seluruh sahabat mengikuti Nabi saw dalam haji wada’ dan menyaksikan khutbahnya di Ghadir Khum. Yang jelas sebagian dari mereka ingin menghilangkan jejak bahwa ayat ini berkaitan dengan pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib (sa) sebagai pemimpin pasca Rasulullah saw. Tidak jarang ayat Al-Qur’an atau hadis Nabi saw dibelokkan dari makna yang sebenarnya karena kepentingan politik, yang umumnya dilakukan oleh penguasa dan ulama di sekitar penguasa. Hal ini tidak hanya terjadi di zaman dahulu, tetapi juga terjadi di zaman kita. Na’udzu billah, kita berlindung kepada Allah swt, semoga Dia menyelamatkan kita dari kelompok mereka ini.
Pendapat yang sesuai dengan Ahlul Bait Nabi saw. Pendapat ini mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum sehubungan dengan perintah memproklamirkan kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib (sa) sebagai pemimpin pasca Rasulullah saw.
Ad-Durrul Mantsur 2: 298 mengutip riwayat yang bersumber dari Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Asakir dari Abu Said Al-Khudri, ia berkata: Ayat ini yaitu Ya Ayyuhar Rasul balligh ma unzila ilayka min Rabbika turun kepada Rasulullah saw pada hari Ghadir Khum sehubungan dengan Ali bin Abi Thalib.
Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Di zaman Rasulullah saw kami membaca: “Ya Ayyuhar Rasul balligh ma unzila ilayka min Rabbika – Anna Ali mawla al-mu’minin (Ali pemimpin orang-orang mukmin) – wa in lam taf’al fama ballaghta risalatahu, wallahu ya’shimuka min an-nasi.”
Dalam Al-Mi’yar wal Mawazin: 213 meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Abbas, mereka berkata: Allah memerintahkan kepada Muhammad agar mengangkat Ali bin Abi Thalib di hadapan manusia dan memberitakan kepemimpinannya kepada mereka. Rasulullah saw khawatir mereka mengatakan: “Dia terlalu mencintai anak pamannya”. Dan beliau khawatir juga mereka mencerca Ali bin Thalib. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya: Ya ayyuhar Rasul balligh ma unzila ilayka min Rabbika. Kemudian Rasulullah saw berdiri memproklamirkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pada hari Ghadir Khum.


Asal-usul Komunikasi Profetik

               Secara historis, komunikasi merupakan instrumen yang integral dari islam sejak kelahiran islam sebagai gerakan religius. Al-Qur’an merupakan sumber utama untuk menjelaskan praktik dan aturan (teorisasi) komunikasi. Secara trasendental, ada dua tipe utama pemahaman komunikasi timbal balik antar Tuhan dan manusia. Pertama, bersifat linguistik verbal, yaitu menggunakan tutur bahasa yang dapat dipahami manusia. Kedua, bersifat nonverbal, yaitu menggunakan tanda-tanda alam. 

            Ayat (teks) merupakan kehendak Tuhan untuk membuka komunikasi dengan manusia. Ayat (teks) disampaikan kepada manusia melalui Nabi. Dalam studi ilmu Al-Qur’an, ayat tersebut disebut dengan wahyu. Wahyu merupakan bentuk komunikasi khas antara Tuhan dan para Rasul-Nya. Komunikasi tersebut kemudian “dialih turunkan” oleh para Nabi dan Rasul dalam bentuk ayat yang tertulis, seperti yang terulang dalam kitab suci Al-Qur’an. Wahyu merupakan keinginan nyata dari kehendak Tuhan untuk berkomunikasi mellaui penyampaian berita dalam bentuk teks (ayat) kepada manusia. Komunikasi profetik merupakan istilah baru dalam khazanah ilmu komunikasi, yang mengacu pada pola komunikasi kenabian Rasulullah Muhammad saw yang sarat dengan kandungan nilai dan etika. Komunikasi profetik merupakan kerangka baru praktik ilmu komunikasi dalam perspektif lslam yang terintegrasi-terintegrasi dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya.

            Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa usia komunikasi sebagai praktek pentebaran informasi sama tuanya dengan usia manusia. Bahkan sebelum manusia tercipta, komunikasi sudah terlebih dahulu ada. Hal tersebut dapat kita temui dalam kisah komunikasi antara allah SWT dengan iblis ketika menciptkana Nabi Adam sebagai manusia pertama. Inilah yang kemudian menmbulkan ambiguitas dan paradoks, jika komunikasi sudah ada sejak manusia tercipta. Rahasia dibalik konvergensi-intekoneksi keilmuan tersebut terletak pada luasnya khazanah keilmuan Allah SWT yang belum terjamah dan tersentuh oleh manusia. Masih banyak keilmuan Allah SWT tersebut yang perlu didekati dan diungkap kebenarannya. Untuk berupaya “mendekati” Allah SWT dalam mengungkapkan sebagian tabir rahasia keilmuan yang dimilik-Nya. Pendekatan ini diberi nama dengan “komunikasi Profetik”.
            Komunikasi profetik diajukan dalam kerangka baru praktik ilmu komunikasi Islam yang memadukan konsepnya dengan kajian ilmu komunikasi yang sudah berkembang sebelumnya. Ini bisa dibilang sebuah upaya “suntikan imunisasi” bagi perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, semacam menerapkan prinsip-prinsip kaidah komunikasi kenabian terhadap dinamisnya ilmu komunikasi yang berperan penting dalam kancah akselerasi perubahan sosial. Lebih jauh, hal itu dapat menempatkan pengguna komunikasi, konsumen dan media komunikasinya jadi memiliki ”imunitas” pertimbangan etis dalam pelbagai praktik berkomunikasi.

D. Konsekuensi Komunikasi Profetik 

        Konsekuensi adanya komunikasi profetik Pertama, jika melihat sejarah Orde lama, orde baru, dan reformasi sekarang, umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini seharusnya memiliki otoritas yang lebih dengan cara penyampaian hak Umat Islam ke regulasi pemerintah. Kasus-kasus yang merugikan kemurnian ajaran Islam sendiri seharusnya diatur lewat aturan yang dirancang oleh wakil rakyat yang sebagian besar mereka adalah pemeluk Islam. Ketegasan aturan agama merupakan sebuah upaya menolak penistaan agama yang membuat ajaran Agama Islam sendiri tidak jelas. Satu contoh jika terbukti bahwa Ahmadiyah bukan termasuk ajaran Islam maka perlu ada ketegasan baik dari kesepakatan Ulama dan disampaikan pemerintah bahwa memang Ahmadiyah bukan ajaran Islam. Ketegasan ini diambil agar tidak terjadi tindakan anarkisme dari sekelompok golongan karena merasa ajaran Islam dinodai dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Alquran dan hadist. Seperti nabi menjelaskan bahwa tidak akan mungkin umatku bersepakat secara mayoritas tentang bid’ah-bid’ah dalam agama. Andaikan benar terjadi bahwa Ahmadiyah bukan menganut ajaran Islam dengan keputusan Ulama dan penyampaian pemerintah maka jelas sudah masalah dan biarkan mereka menjalankan ritual tanpa ada tindakan anarkisme karena mereka sudah jelas bukan Islam.
Kedua, Anarkisme agama sebenarnya memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan sebuah struktur, baik itu entitas agama, gerakan sosial, lembaga politik, ormas Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Naluri manusia selalu memberikan apresiasi positif terhadap hal-hal yang menyuguhkan kedamaian. Nilai Profetik (kenabian) mungkin kata yang tepat untuk mewakili sebuah sikap saling menjaga, toleransi, berbicara dengan hati, ketulusan. Dengan nilai profetik inilah agama menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan manusia akan hakikat diri sebagai seorang makhluk Tuhan. Nilai Profetik inilah yang menjadi jawaban kenapa Muhammad begitu sangat ditaati dan diikuti ajarannya. Tidak ada sedikitpun dalam sejarah manusia tentang agama yang mendahulukan anarkisme dalam interaksi masa. Bahkan tercatat dalam sejarah begitu banyaknya nabi yang sebenarnya menjadi korban dari anarkisme kaumnya karena di tolak ajaran dakwahnya. Nabi Nuh, Isa, Muhammad pernah mengalami hal demikian. Tapi yang sangat menakjubkan kesabaran para nabi menjadi magnet dakwah tersendiri bagi sebagian manusia. 
Ketiga, Memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran agama akan lebih berdampak positif dari pada melakukan tindakan anarkisme agama. Dakwah bil hikmah wamauizhatil hasanah (Dakwah dengan hikmah dan suri tauladan yang baik) gambaran yang paling tepat bagi agama apapun. Walaupun nabi Muhammad pernah ditolak kaum taif namun mereka menyadari bahwa Muhammadlah satu-satunya manusia saat itu yang dapat dipercaya hingga dijuluki Al-amin, Muhammad adalah seorang yang jujur, selalu menyambung tali silaturahmi. Tidak ada satu orangpun yang meragukan kebenaran walau mereka telah melempari Muhammad dengan batu saat memberi ajakan kepada Islam. Lalu yang terjadi sekarang umat sudah berbeda jauh. Beberepa sekelompok ormas Islam sangat miris dengan mengedepankan anarkisme. Upaya melakukan nilai profetik telah berubah menjadi kebrutalan yang justru tidak membuat manusia simpati terhadap ajaran Islam. Akibat ulah beberapa kelompok ini yang nantinya merugikan agama dalam membangun rahmatan lil alamin. Dan jangan heran jika nantinya isu tentang terorisme terhadap islam tidak kunjung usai karena memang ada sebagian dari kita yang selalu meneror tanpa memberikan kepemahaman profetik. 

Keempat, perlu adanya sebuah konstruksi dalam kepemimpinan umat Islam. Ini sekaligus menjadi jawaban kenapa Kepemimpinan sangat penting bagi Islam. Dengan pemimpin ini Islam akan mengembalikan kejayaan masa lampau dengan menyuguhkan masyarakat berperadaban yang menjadi kiblat dunia di masa lalu di mana istilah menyebut masyarakat madani (civil society). Kepemimpinan dalam Islam perlu diselesaikan dengan cara bersama antara umat Islam yang dijembatani Ormas Islam, Lembaga Agama, NGO Islam, Organisasi kepemudaan Islam dan lainnya. Konstruksi Kepemimpinan ini dibentuk untuk memberikan dasar-dasar pemahaman arti pentingnya nilai profetik yang diajarkan para Nabi karena memang agama bukan paksaan, sekaligus menjadi puncak regulasi dalam menjaga tatanan moral agama sehingga tidak terjadi hal-hal yang membuat orang menjadi benci dengan agama. Sebagaimana filosofi yang para Nabi gunakan dalam interaksi bagaikan pohon mangga yang telus dilempari dengan kayu dan batu tapi pohon selalu membalasnya dengan menjatuhkan buah mangga yang manis. Inilah garis besar Nilai Profetik yang disebut dalam Al-quran Id’fak bilatihiya ahsan (menolak kejahatan dengan kebaikan). Pemimpin harus mampu menuntaskan salah urus negara yang telah terjadi agar klaim kebenaran tidak harus dilakukan dengan kekerasan tapi dengan pemahaman.

Share this article :

1 comments:

Ranting

Kunjungan dari

Pengunjung

Flag Counter

Followers

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Blog's Komunikasi Setia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger