Undang-undang
Tentang Ketenaga Kerjaan
A. Perlindungan Tentang Kontrak
Kerja ( Sesuai HAM )
Pengertian Kontrak Kerja
Kontrak kerja
adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau
tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Setiap perusahaan wajib
memberikan kontrak kerja di hari pertama anda bekerja. Dalam kontrak kerja
biasanya terpapar dengan jelas pekerja memiliki hak mendapat kebijakan
perusahaan yang sesuai dengan Undang- undang ketenagakerjaan yang berlaku di
Indonesia. Di dalamnya juga memuat mengenai prosedur kerja dan kode disiplin
yang ditetapkan perusahaan.
UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebenarnya menetapkan pembatasan-pembatasan atas
kerja kontrak. Kerja kontrak, misalnya, hanya boleh untuk "pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu" dan "tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.” Kerja kontrak hanya "dapat diadakan untuk paling lama 2
(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.” Pembaruan perjanjian kerja kontrak juga hanya
dapat "dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun." Atas pengertian tersebut, maka
dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian kerja sebagai berikut:
a.
Adanya perbuatan hokum/peristiwa
hokum berupa perjanjian
b.
Adanya subjek atau pelaku yakni
pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja yang masing-masing membawa
kepentingan;
c.
Memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban para pihak
Objek dan Subjek dalam Kontrak
Objek
kontrak harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu, objeknya harus tertentu atau
dapat ditentukan, diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tata susila.
Setiap subjek kontrak juga harus memenuhi suatu
kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek
hukumnya adalah orang, orang tersebut harus sudah dewasa. Namun jika subjeknya
badan hukum harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum. Kedua jenis subjek
hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan kontrak.
Oleh karena itu, dalam hukum perjanjian, yang dapat menjadi subjek hukumnya
adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan
badan hukum.
Bentuk dan Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja pada prinsipnya dapat dibuat secara
lisan dan tertulis dengan syarat terpenuhinya syarat-syarat keabsahan
perjanjian kerja sebagaimana dicantumkan dalam UUTK. Pasal 53 mensyaratkan beberapa
hal untuk absahnya suatu perjanjian kerja sebagai berikut:
a.
Kesepakatan
kedua belah pihak ;
b.
Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ;
c.
Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan ; dan
d.
Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
Kesepakatan
diartikan sebagai bentuk persetujuan para pihak atas apa yang diperjanjikan dan
hal-hal yang termuat dalam perjanjian. Apabila perjanjian itu dibuat dalam
bentuk tertulis seperti kontrak, maka tentunya dinyatakan dalam draft kontrak
tersebut. Namun apabila dibuat secara lisan, maka cukup dengan pernyataan yang
secara bersama disetujui oleh kedua belah pihak dan sebaiknya disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sepakat (konsensualitas) dalam teori hukum
perjanjian merupakan azas yang sangat penting existensinya. Sebab suatu
perjanjian belum dapat dikatakan utuh sebagai suatu perjanjian apabila tidak
disepakati oleh pihak lainnya. Dengan kata lain subjektifitas perjanjian
tersebut belum terpenuhi seutuhnya dan tentunya belum dapat diimplementasikan
dan belum berkekuatan hokum. Oleh karena itu perjanjian tersebut belum dapat
dianggap sebagai suatu peristiwa hukum
yang secara otomatis belum menimbulkan hak dan kewajiban antara satu pihak dengan
pihak lainnya.
Kerugian sistem
kerja kontrak
Sistem kerja
kontrak ini banyak menuai kontroversial, karna kerja kontrak dianggap hanya menuntungkan bagi pihak perusahaan, dan Kerugian-kerugian yang dialami oleh para pekeja kontrak adalah :
·
Tidak ada ketentuan mengenai pesangon
Seseorang yang dikontrak biasanya beban kerjanya
hampir sama atau bahkan lebih berat dari pada pegawai tetap, namun dari segi
gaji atau fasilitas lainnya tentu saja sangat berbeda. Termasuk tidak adanya
ketentuan pesangon yang jelas apabila perusahaan tidak lagi menggunakan jasa si
tenaga kerja kontrak terlebih lagi tidak adanya perlindungan hukum bagi
karyawan kontrak yang akan menuntut haknya di pengadilan.
·
Tidak ada serikat pekerja tenaga kerja kontrak
Secara umum tidak adanya serikat pekerja tenaga
kerja kontrak disebabkan karena status hubungan kerja yang nonpermanen. Menjadi
anggota serikat dalam hubungan kerja fleksibel bukan sebuah pilihan bagi
Pekerja karena kekhawatiran kehilangan pekerjaan (karena berstatus outsourcing,
takut di PHK, takut tidak diperpanjang kontrak, dan jug adanya pelarangan dari
Perusahaan)
·
Fungsi pengawasan Disnaker terhadap pelanggaran ketenagakerjaan sangat
lemah
Disnaker sebagai instansi yang berwenang
melaksanakan pengawasan serta penindakan atas setiap pelanggaran peraturan
ketenagakerjaan baik yang dilakukan pengusaha maupun pekerja belum menjalankan
dengan tegas terutama masih ada keberpihakan terhadap pengusaha dan cenderung
tidak berlaku adil mengenai pemenuhan hak – hak pekerja.
·
Upaya Perusahaan mensiasati agar Karyawan kontrak tidak menjadi karyawan
tetap
Untuk menghindari hak – hak normative yang harus
dibayarkan perusahaan kepada pekerja, maka seringkali Perusahaan terus
memperpanjang kontrak pekerja dengan adanya jeda waktu agar status pekerja
tidak beralih menjadi karyawan tetap.
·
Banyak terjadi masa perpanjangan kontrak kerja dilakukan lebih dari dua
kali
Masa perpanjangan kontrak pekerja yang seharusnya
dapat dilakukan maksimal 2 (dua) kali pada kenyataannya sering dilanggar
Perusahaan dengan memperpanjang kontrak kerja lebih dari 2 (dua) kali.
Dalam
berbagai keadaan, sistem buruh kontrak juga menjadi alat pemecah belah di dalam
kekuatan buruh. Meskipun sama-sama menjadi buruh, antara buruh tetap dan buruh
kontrak muncul perasaan seolah-olah memiliki status yang ‘lebih’ dan yang
‘kurang’ di antara mereka. Banyak buruh tetap yang ‘merasa aman’ kemudian
bersikap pasif dalam perjuangan karena tak mau kehilangan ‘status aman’-nya
yang relatif tersebut. sedangkan di pihak buruh kontrak merasa cemburu dengan
beban pekerjaan yang sama, namun tidak mendapatkan hak-hak sosial-ekonomi yang
dijamin perusahaan. Politik pecah belah sistem kapitalisme tidak hanya dalam
hal pembagian kerja (devision of labour) semata, namun sudah berkembang
pembagian status seperti ‘buruh tetap’ dan ‘buruh kontrak’. Bila tidak kita
sikapi dengan propaganda yang tepat, soal-soal konkrit semacam ini akan menjadi
pemecah-belah yang akan semakin melemahkan kekuatan dan persatuan buruh.
Kontrak Kerja dalam Pandangan HAM
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), diskriminasi ini tentu
bertentangan dengan HAM. Secara spesifik, praktek diskriminasi ini bertentangan
dengan pasal 38 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana dinyatakan
bahwa “Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang
sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat
perjanjian kerja yang sama.” Kemudian, diskriminasi ini juga bertentangan
dengan pasal 7 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Ekosob) yang disahkan dengan UU No. 11 Tahun 2005, di mana pekerja memiliki
hak untuk mendapatkan ”remunerasi yang setara untuk pekerjaan yang nilainya
setara tanpa pembedaan apapun.”
Dengan demikian, hubungan kerja
kontrak telah menghambat buruh kontrak untuk berserikat. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 39 UU HAM, di mana dinyatakan ”Setiap
orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk
menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hal itu juga
bertentangan dengan Pasal 22 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik,
yang sudah disahkan oleh UU No. 12 Tahun 2005, dan Pasal 8 Kovenan Ekosob
tentang hak pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh.
Oleh karna itu, sebagai tujuan jangka panjang, UUK
No. 13 Tahun 2003 sudah selayaknya dicabut dan diganti dengan UU
Ketenagakerjaan yang menghormati HAM dan melarang praktek kerja kontrak.
B. Pekerja Anak ( Sesuai UU HAM )
Salah satu aspek yang diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan ini adalah menyangkut perlindungan hukum dan
kesejahteraan pekerja anak yang dicantumkan di dalam ketentuan Pasal 68 sampai
dengan ketentuan Pasal 75 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 68 menentukan
bawah pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Filosofi larangan
anak untuk bekerja atau mempekerjakan anak sebagaimana diatur di dalam UU
Ketenagakerjaan ini sebenarnya erat
kaitannya dengan upaya melindungi hak asasi anak, yang juga dijamin perlindungannya dalam
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan
yang melarang mempekerjakan anak sebagaimana telah diatur di dalam ketentuan
Pasal 68 UU Ketenagakerjaan, sejalan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menentukan bahwa setiap anak
berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.
Selanjutnya dalam ayat (2) mengatur mengenai hak anak sebagai hak asasi manusia
dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan
sejak dalam kandungan. Oleh karena itu, secara filosofis larangan mempekerjakan
anak ini semata-mata dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan hukum
terhadap anak demi pengembangan harkat dan martabatnya dalam rangka
mempersiapkan masa depannya.
ketentuan UUK Pasal 68
dan 69 yang substansinya berbicara mengenai larangan terhadap pengusaha untuk
mempekerjakan anak kecuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) sampai
dengan 15 (lima belas) tahun dan itupun terbatas pada pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, social
dari anak tersebut.
Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk mempekerjakan anak dimaksud yakni:
a.
izin
tertulis dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.
waktu
kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.
dilakukan
pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.
keselamatan
dan kesehatan kerja;
f.
adanya
hubungan kerja yang jelas; dan
g.
menerima
upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal
ini masih ada pengecualiannya
dalam ayat (2) tersebut diatas huruf a, b, f
dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Dari
uraian contoh penegasan yang tercantum dalam Pasal 68 – 69 tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa anak selalu dianggap belum cakap untuk bertindak
sebagai pihak dalam suatu perjanjian.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara
substansial dan prinsipiil juga mengandung konsep perlindungan hukum terhadap
anak secara utuh yang bertujuan untuk menciptakan atau mewujudkan kehidupan
terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus cita-cita bangsa yang
potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh ahklak mulia dan
nilai Pancasila, serta berkemauan keras untuk menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa serta negara, namun realitasnya keadaan anak belum seindah ungkapan
verbal yang kerapkali memposisikan anak bernilai penting, penerus masa depan
bangsa dan simbolik lainnya, karena masih banyak anak yang seharusnya
bersekolah, bermain, dan menikmati masa kanak-kanak justru mereka terpaksa
dan dipaksa untuk bekerja.
Khusus pekerja anak di sektor informal, secara
faktual belum memiliki perangkat
perlindungan hukum secara memadai, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU
Ketenagakerjaan. Penanganan masalah pekerja anak di sektor informal pada saat
ini, dapat dikatakan masih menghadapi tantangan berat, terutama karena terkait
dengan beberapa faktor, baik langsung maupun tidak langsung.
Terjadinya
pekerja anak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial seperti kemiskinan,
urbanisasi, sosial budaya, pendidikan, perubahan proses produksi serta lemahnya
pengawasan dan minimnya lembaga untuk rehabilitasi. Namun pada kenyataannya
keterlibatan anak dalam pekerjaan mayoritas didorong oleh faktor kemiskinan
atau ekonomi.
Perlindungan
bagi anak sebagai pekerja pada dasarnya telah diatur dalam beberapa rumusan
Undang-undang dan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia. Sekarang ini Indonesia telah memiliki kebijakan tentang perlindungan
pekerja anak dan hak-haknya.
Berbagai
upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pekerja anak, namun pada
umumnya upaya pemerintah belum berjalan secara optimal. Pelaksanaan peraturan
perundang-undangan belum sesuai antara harapan dan kenyataan.
Saran
Seharusnya segera
dibentuk peraturan pemerintah yang mengatur
pekerja anak dan perlindungan hukumnya, sebagai pelaksanaan dari UU
Ketenagakerjaan, terutama dalam rangka
memberikan kepastian hukum bagi
hak-hak pekerja anak. Pemerintah dan pihak-pihak terkait juga harus
mendorong bagi peningkatan pengawasan dan penegakan peraturan perundangan tentang ketenagakerjaan, khususnya terkait dengan pekerja anak, sehingga resiko-resiko yang menimpa
pekerja anak dapat dicegah dan ditanggulangi.
0 comments:
Post a Comment