LARANGAN DAN PERINTAH NABI SAW DALAM
PENULISAN HADITS
I. PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam
yang kedua setelah al-Qur’an. Serta Hadits merupakan salah satu pokok dari
syariat Islam. Banyak dari ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Hadits
merupakan salah satu pokok dari syariat Islam. Oleh karena itu kita wajib
mengikuti dan mengamalkannya, sebagaimana mengikuti sumber yang pertama yaitu
al-Qur’an.
Walaupun Hadits merupakan sumber hukum
yang kedua dalam Islam, akan tetapi Hadits menempuh jalan yang berlikuh dalam
menempatkan dirinya pada posisi yang sebenarnya. Ini dikarenakan
keberadaan Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur’an
yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW
maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah
secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang
dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat
dengan masa Rasulullah SAW. Oleh karena kodifikasi Hadits yang relatif jauh
dari masa Rasulullah SAWwafat menjadi celah bagi kaum orientalis maupun dari
golongan yang menginginkan Islam hancur untuk mengkritik dan meragukan
keontetikkan hadits Rasulullah SAW dengan cara meragukan kepribadian rawi,
sanad dan matan dari Hadits.
Topik kodifikasi hadits Nabi, larangan
dan perintah penulisan hadits serta kodifikasi hadits secara resmi, begitu
penting dibahas pada makalah kali ini, supaya kita kaum muslimin atau lebih
khususnya mahaiswa magister agama Islam dapat mengetahui lebih jauh tentang
hal-hal dalam proses kodifikasi hadits.
Setelah melihat uraian tentang apa
yang dibicarakan pada latar belakang persoalan diatas, maka pokok permasalahan
yang dapat diangkat kepermukaan untuk dijadikan rumusan masalah pada makalah
kali ini adalah:
1. Bagaimana
penulisan hadits pada masa Rasulullah SAW?
2. Bagaimana
proses kodifikasi hadits Rasulullah SAW?
3. Apa
dampak yang terjadi setelah hadits Nabi di kodifikasi?
II. PEMBAHASAN
A. Penulisan
Hadits Pada Masa Nabi
Rasulullah SAW hidup di tengah
masyarakat kaumnya, mareka dapat bertemu dan bergaul secara bebas tanpa ada protokoler
seperti di sistem kenegaraan, sehingga memungkinkan apa-apa yang dikatakan,
dilakaukan oleh Rasulullah SAW menjadi tumpuan dan di catat serta di tulis oleh
para kaumnya atau umatnya. Banyak riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa
banyak sahabat yang mempunyai lembaran yang tertulis Hadits. Bahkan Fat-hul
Bari dalam Muhammad Habsyi menulis ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali
bin Abi Thalib mempunyai sebuah Shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat
yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain. (Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy. 1999 :35 )
Akan tetapi disisi lain Rasulullah SAW
pernah melarang penulisan Hadits dengan sabdanya yang artinya “Jangan menulis
apa-apa selain Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari saya
selain Qur’an (yakni hadits) hendaklah menghapuskanya (HR
Muslim)”. Pelarangan penulisan Hadits dikarenakan beberapa faktor, yaitu:
a. Berhubungan
pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang “Ummi”(tidak bisa baca
tulis), sedang waktu itu wahyu ilahi masih turun (al-Qur’an), jadi Nabi
mengkhawatirkan kalau mereka tidak dapat membedakan al-Qur’an dan Hadits,
sehingga memungkinkan terjadi percampuran antara keduanya.
b. Nabi
percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuan mereka untuk
memelihara semua ajarannya (hadits) tanpa catatan (tulisan). ( Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy. 1993 : 80 )
Namun di kesempatan lain Rasulullah
SAW sendiri pernah menyuruh sahabatnya untuk menulis hadits, Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Tulislah dari saya, demi dzat yang diriku di dalam
kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang haq (HR Abu
Daud)”. Sebagai alasan logis daripada perintah penulisan hadits ini,
M. Syuhali dalam bukunya pengantar ilmu hadits mengatakan bahwa:
a. Diantara
para sahabat, ada yang telah pandai menulis.
b. Diantara
para sahabat, ada yang kurang kuat ingatan/ hafalanya.
c. Untuk
memberi petunjuk yang lebih jelas dan orisonal kepada para petugas Rasul di
daerah-daerah yang memerlukan adanya dokumen tertulis. (Syuhadi Ismail. 1994
:79 )
Dari kedua hadits diatas kelihatan ada
kontradiksi antara melarang dan membolehkan dalam penulisan hadits, akan tetapi
kebanyakan ulama memandang kedua hadits diatas tidak bertentangan, seperti yang
dikatakan M. Hasbi dalam bukunya sejarah dan pegantar hadits, mengatakan
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu
terhadap mereka yang di khawatirkan akan mencampurkan hadits dengan al-Qur’an.
Izin hanya diberikan kepada mereka yang
tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan al-Our’an itu. Tegasnya,
mereka berpendapat tak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila
kita fahamkan, yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya al-Qur’an
dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri
mereka sendiri. Sedangkan menurut H. Masjfuk mengatakan untuk menghadapi
hadits yang bertentangan di atas, ada beberapa pendapat:
a. Bahwa
hadits yang melarang hadits itu ditulis, (penulisan hadits) telah
di nasakhdengan hadits yang membolehkanya (pendapat jumhur)
b. Bahwa
hadits yang melarang itu ditunjukkan kepada orang-orang yang tidak kuat
ingatanya (hafalanya), sedangkan hadits yang membolehkan ditunjukkan kepada
orang-orang yang kuat hafalanya. Pendapat ini tidak tepat, sebab berarti
menganggap sahabat Abdullah bin’ Amr dan sebagainya termasuk orang-orang yang
lemah ingatanya, padahal tidak demikian.
c. Bahwa
hadits yang melarang itu berlaku bagi orang yang menulis Qur’an dan hadits
dalam satu lembaran, karena di kuatir bercampur antara keduanya. (Masjfuk
Zuhdi. 81 )
B. Penghapalan
Hadits
Ketika Rasulullah SAW. wafat, al-Quran
telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci
al-Qur’an seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam
bentuk sebuah mushaf. Adapun hadits atau sunnah dalam penulisannya ketika itu
kurang memperoleh perhatian seperti halnya al-Qur’an. Penulisan hadits
dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan
oleh Rasul SAW. sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis al-Qur’an.
Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah
SAW. Mereka mencatat sebagian hadits-hadits yang pernah mereka dengar dari
Rasulullah SAW. Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW. berpegang
pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan
jalan menulis hadits dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadits
melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi SAW. Kemudian
terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat
langsung apa yang Nabi kerjakan atau mendengar pula dari orang yang
mendengarnya sendiri dari Nabi SAW, karena tidak semua dari mereka pada setiap
waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi SAW.
Kemudian para sahabat menghapal setiap
apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah
Nabi SAW lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara
hapalan pula. Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadits yang
didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/
meriwayatkan hadits ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadits. Kemudian
para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah: Abdullah
bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits, Anas bin Malik meriwayatkan 2.276
buah hadits, Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits, Abdullah ibnu Abbas
meriwayatkan 1.660 buah hadits, Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah
hadits, Abu Said al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits.
C. Sahabat-Sahabat
Yang Meriwayatkan Hadits
Dengan adanya kebijakan Nabi SAW
tersebut, periwayatan hadits pada masa Nabi SAW, hanya sebagian kecil saja yang
berlangsung secara mutawatir, periwayatan hadits yang terbanyak berlangsung
secara ahad. Namun, banyak pula para sahabat Nabi yang telah meriwayatkan
hadits lebih dari seratus dan ada pula yang hanya satu atau dua hadits saja.
Di antara nama para sahabat yang
banyak meriwayatkan hadits dalam Jumlah yang besar adalah : Pertama,
kelompok as-Sabiqun al-Awwalun (Yang mula-mula masuk Islam)
seperti Abu Bakar (w. 13 H / 634 M), Umar bin Khattab (w. 23 H / 644 M), Usman
bin Affan (w. 35/656 M), Ali bin Abi Thalib (w. 40 H / 661 M) , dan Ibn
Masud. Kedua, kelompok Ummahat al-Mukminin (Istri-istri
Rasul SAW) seperti Aisyah (w. 58 H / 678 M) dan Ummu Salamah. Ketiga,
kelompok lain seperti Abdullah bin Amr’ bin al-Ash (w. 65 H / 685 M) , Abu
Hurairah (w. 58 H/678 M) , Abdullah bin Umar (w. 73 H / 692), Anas bin Malik
(w. 93 H / 711 M) , Ibn Abbas (w. 69 H / 689 M), Jabir bin Abdullah (w. 78 H /
697 M) , Sumrah bin Jundab (w. 60 H / 680 M), dan Abdullah bin Abi Aufa’ (w. 86
H).
Dengan demikian, sahabat Nabi SAW,
yang memiliki catatan hadits relative lebih sedikit dibanding orang yang tidak
memiliki catatan hadits. Karena sahabat yang pandai menulis jumlahnya sedikit
daripada sahabat yang tidak bisa menulis. Di samping itu, dengan kelebihan
dalam hafalan, orang Arab lebih suka menghafalnya daripada menuliskannya.
Sehingga hadits Nabi SAW, pada zaman Nabi SAW, belum seluruhnya tertulis.
Hadits yang dituliskan para sahabat barulah sebagian dari hadits yang ada.
Karena periwayatan hadits pada zaman Nabi SAW, lebih banyak dalam bentuk lisan
dari pada dalam bentuk tulisan.
D. Kodifikasi
Hadits
Melihat perkembangan agama Islam yang
begitu pesat dan telah tersebar luas sampai keluar dari jazirah Arab, maka
masalah yang timbuli di masyarakat menjadi kompleks sehingga memerlukan
petunjuk dan bimbingan dari hadits Rasulullah SAW, di samping dari al-Qur’an
itu sendiri. Serta para sahabat Nabi SAW, sudah tidak menetap pada satu tempat,
mereka mulai terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya para
sahabat, para penghafal hadits yang telah meninggal dunia, baik karena gugur
dalam peperangan maupun karena usia yang telah tua.
Di samping itu, telah berkembangnya
hadits-hadits palsu (Hadits Maudhu’) dari orang yang mempunyai kepentingan
terhadap diri mereka sendiri maupun kelompoknya, maka dengan itu atas inisiatif
pemerintah secara umum, maka diselenggarakanlah penulisan dan kodifikasi secara
resmi. Menurut Ramli Abdul Wahid dalam studi ilmu hadits mengatakan bahwa
kodifikiasi hadits secara resmi yaitu pengumpulan dan penulisan hadits-hadits
atas perintah khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat.
( Ramli Abdul Wahid. 2005: 103 )
Masa pembukuan secara resmi dimulai
pada abad II Hijriyah, yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd
al-Aziz tahun 101 Hijriyah. Khalifah Umar melihat, bahwa Rasulullah SAW, dan
Khulafa’ur Rasyidin tidak membukukan hadits Rasul SAW, diantara sebabnya di
khawatirkan bercampurnya antara hadits dan al-Qur’an, sedangkan pada masa
khalifah Umar memerintah, al-Qur’an telah selesai dikodifikasi dan telah
lestari. Dengan demikian, maka bila hadits-hadits Rasulullah SAW, dikodifikasi
maka tidak akan menggganggu kemurnian al-Qur’an. Atas dasar pertimbangan
itulah, maka pada tahun 100-101 Hijriyah, Umar bin Abd Aziz menulis surat
intruksi kepada para gubernur dan juga kepada para ulama untuk membukukan
hadits.
Dengan demikian, maka latar belakang
khalifah untuk kodifikasi hadits antara lain seperti yang dikatakan Endang
Sutari dalam ilmu hadits antara lain:
a. Pada
akhir abad ke 1 H para penghafal hadits makin berkurang karena sudah banyak
yang meninggal dunia.
b. Periwayatan
secara lisan dengan berpegang pada hafalan dan ingatan dalam keseragaman lafadz
dan makna tidak bisa berlangsung lama.
c. Mulai
tahun 40 H periwayatan hadits dikaburkan oleh timbulnya pemalsuan hadits yang
dilakukan oleh orang-orang kafir.
d. Pada
masa tabi’in tidak di khawatirkan bagi tercampurnya antara al-Qur’an dan
hadits, sehingga tidak menimbulkan kesamaran antara al-Qur’an dan hadits.
(Endang Soetari. 1997 :55 )
Sedangkan menurut M.Syuhudi dalam
pengantar ilmu hadits mengatakan, latar belakang dan motif khalifah Umar bin
Abd Aziz mengeluarkan intruksi untuk menulis hadits antara lain:
a. Al-Qur’an
telah dibukukan dan telah tersebar luas, sehingga tidak di khawatirkan lagi
akan bercampur dengan hadits.
b. Telah
makin banyak para perawi/ penghafal hadits yang meningal dunia. Bila di biarkan
terus, maka hadits akan terancam punah, oleh karena itu segera dibukukan.
c. Daerah
Islam semakin meluas. Peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh umat Islam
bertambah banyak dan kompleks.
d. Pemalsuan-pemalsuan
hadits semakin menghebat.
E. Sistem
kodifikasi Hadits
Pengkodifikasian hadits pada abad ke
II Hijriah masih campur aduk antara hadits Nabi SAW, perkataan dan fatwa
tabi’in. Hal ini karena terdorong oleh kemauan keras untuk mengkodifikasikan
hadits, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah yang
mereka himpun itu hadits-hadits Nabi SAW, semata ataukah termasuk juga di
dalamnya perkataan sahabat dan tabi’in. Hadits yang disusun umumnya belumlah
disusun berdasarkan Maudhu’ tertentu, bahkan lebih jauh dari itu mereka belum
mengklasissifisir kandungan nas-nas hadits menurut kelompoknya. Dalam artian,
kitab hadits karya ulama-ulama abad ke-2 H. Masa Al-Zuhry tersebut masih belum
ditepis antara hadits-hadits yang marfu, mauquf dan maqtu, dan antara hadits
yang shahih, hasan, dan dhoif. Penulisan hadits pada abad kedua Hijriah pada
umumnyam masih bersifat general, belum adanya spesifikasi atau konsentrasi.
Sistem pengkodifikasian hadits dikhususkan pada suatu karangan (buku) dengan
satu bab saja, yang di dalamnya terkumpul hadits-hadits yang ada hubungannya
satu sama lain dan mencampurnya dengan pendapat-pendapat para sahabat dan
fatwa-fatwa tabi’in. Meskipun begitu, ada juga kitab hadits yang hanya
menghimpun hadits Nabi SAW semata-mata, yakni catatan Ibn Hazm dan al-Zuhry.
Namun sayang, karya al-Zuhry tidak sampai kepada kita.
Setelah masa al-Zuhry, sistem
pengkodifikasian hadits didasarkan pada pokok masalah tertentu. Seperti kitab
al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik (w. 179 / 795 M) pada tahun 144 H,
atas anjuran khalifah al-Mansur. Karya Imam Malik tersebut tersusun berdasarkan
bab-bab Fiqh. Karya-karya itu tidak hanya menghimpun hadits Nabi SAW saja,
tetapi juga menghimpun perkataan sahabat dan tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun
berdasarkan nama sahabat Nabi SAW, periwayat hadits (biasa disebut al-Musnad).
Hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab tersebut ada yang shahih dan ada yang
tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menghimpun hadits yang berkualitas
shahih menurut kriteria penyusunnya. Di samping itu, muncul pula kitab-kitab
hadits dikenal dengan nama Sunan. Setelah kitab-kitab hadits tersebut,
penghimpunan hadits dapat dikatakan berada dalam taraf melengkapi, kitab-kitab
hadits yang telah ada.
F. Implikasi
Kodifikasi Hadis
Adanya
pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi - implikasi terhadap perkembangan
pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul
hadits itu sendiri khususnya.
a. Implikasi Praktis
Implikasi
praktis dapat saya uraikan menjadi beberapa bagian di bawah ini:
1) Memudahkan
pencarian hukum-hukum syari’at mengingat hadits sebagai sumber hukum Islam
kedua setelah al-Qur’an. Berhukum dengan hadits Nabawi merupakan kebutuhan
agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya hadits-hadits tersebut telah
disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab-kitab sunan dan
lain-lain.
2) Memudahkan
penilaian hadits karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh
peneliti sebelumnya.
3) Terpeliharanya
kemurnian tradisi Nabi SAW. Banyaknya berita- berita yang sampai ke hadapan
kita dengan mengatasnamakan Nabi SAW, sering membuat kita ragu akan kebenaran
berita tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi SAW, yang terwakili dengan
hadits shahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad SAW dapat terpelihara.
4) Memungkinkan
adanya penulisan-penulisan buku-buku hadits baru setelah Penulisan kitab-kitab
terdahulu.
b. Implikasi Teoritis
1) Hadits
ahad dapat diterima.
2) Ilmu
hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan
yang dihadapi oleh hadits
yang dihadapi oleh hadits
3) Pintu
ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit. Namun tidak menutup
kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir dengan baik
oleh penulis.
Berdasarkan ijma’ qath’iy dari para
sahabat ra, untuk tidak mengambil khabar ahad dan dzanniy untuk menetapkan
salah satu rukun dari rukun-rukun aqidah yakni al-Qur’an yang membangun seluruh
rukun aqidah islamiyah, maka tidak ada tempat lagi bagi pendapat yang menyatakan
kemungkinan membangun aqidah diatas keraguan (dzan) semisal khabar ahad. Ijma’
sahabat telah meluluhlantakkan pendapat dan propaganda yang menyatakan khabar
ahad dapat untuk dijadikan sebagai dalil aqidah.
Barangsiapa berpendapat bahwa khabar
ahad membawa implikasi iman(keyakinan), sesungguhnya ia telah menuduh
sahabat-sahabat Rasulullah SAW telah bersepakat mengurangi dan menambah
kitabullah. Sebab para sahabat Rasulullah SAW tidak mencantumkan
riwayat-riwayat ahad (yang diklaim sebagai al-Qur’an) kedalam mushaf Imam yang
wajib kita yakini keotentikannya.
Pendapat diatas juga membawa implikasi
bahwa para sahabat telah melakukan kesalahan dalam masalah ushuluddin, padahal
mustahil bagi mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan dan kesesatan.
Sungguh, al-Qur’an dan sunnah telah menjamin keadilan mereka. Dengan demikian
madzhab yang menerima dzan dan khabar ahad dalam aqidah
adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapatini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa khabar ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja tidak menghasilkan keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.
adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapatini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa khabar ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja tidak menghasilkan keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.
G. Tokoh
Penting Dalam Memodifikasi Hadits
Diantara salah satu tokoh penting
dalam kodifikasi hadits selain khalifah Umar bin Abdul Aziz yaitu gubernur
Madinah yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibnu Amr Ibnu Hazm atau Muhammad Ibnu
Hazm. Muhammad Ibnu Hazm selain sebagai seorang gubernur dia juga sebagai
seorang ulama.
Selain Muhammad Ibnu Hazm ada ulama
lain yang menerima instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz
yaitu Imam al-Zuhry, beliau adalah seorang ulama yang ahli dalam
bidang fiqh dan hadits. Hal ini dapat dilihat saat khalifah Umar ibn Abdul Aziz
mengiteruksikan kepada Gubernur untuk mengkodifikasikan hadits, ia berpesan
bahwa Imam al-Zuhry lah yang ahli tentang hadits. Ia memiliki kemampuan
menghafal yang tinggi. Ia juga termasuk seorang ulama yang mula-mulam mebukukan
hadits atas anjuran khlaifah Umar ibn Abdul Aziz. Dengan interuksi khalifah
tersebut, ia membukukan seluruh hadits yang ada di Madinah.
Beliau mengumpulkan hadits-hadits dan
kemudian ditulisnya dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing
penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para sejarawan dan
ulama menganggap bahwa al-Zuhry yang mula-mula mengkodifikasikan hadits secara
resmi atas perintah khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun Imam al-Zuhry
hanya menghimpun hadits yang ada di Madinah. Akan tetapi dialah ulama pertama
yang menghimpun hadits atas perintah khalifah. Karena ia telah berhasil
menghimpun hadits dalam satu kitab sebelum khalifah Umar ibn Abdul Aziz
meninggal dunia. Kemudian bagian-bagian kitab al-Zuhry segera dikirim oleh
khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya.
Sementara hadits-hadits yang di luar
Madinah telah dikumpulkan oleh Imam ibn Hazm. Namun sayang, sebelum Ibn Hazm
berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah Umar ibn Abdul Aziz telah meninggal
dunia. Dengan jasanya itu, wajar bila sejarawan menyebut al-Zuhry sebagai ulama
besar dari ulama-ulama hadits di masanya.
H. Kritik
Dan Tanggapan Mengenai Kodifikasi Hadits
Menurut imam Muhammad Rasyid Ridho,
ulama yang pertama kali mengkodifikasikan hadits pada abad pertama hijriah
adalah Khalid bin Ma’dan al-Khamsy. Karena imam Khalid bin Ma’dan wafat sekitar
tahun 103 h atau 104 H. Bukan Imam al-Zuhry. Alasannya, sebelum dikeluarkannya
perintah untuk mengkodifikasikan hadits secara resmi oleh khalifah Umar ibn
Abdul Aziz terhadap Abu Bakar bin Hazm dan Ibn Syihab al-Zuhry, Khalid bin
Ma’dan telah menyusun kitab hadits meskipun penyusunan hadits tersebut masih
bersifat pribadi.
Bagi Rasyid Ridho, antara mushaf
pribadi dan mushaf resmi tidak ada bedanya, karena keduanya bertujuan
mengumpulkan hadits. Sementara menurut Jumhur, ulama yang pertama
mengkodifikasikan hadits adalah Ibn Syihab al-Zuhry al-Qursy. Karena ia
mendapat perintah dari khalifah Ummayyah yang kedepalan yakni Umar ibn Abdul
Aziz untuk mengkodifikasikan hadits. Sebelum itu, tidak ada ulama yang
diperintahkan khlaifah untuk mengkodifikasikan hadits.
Adapun menurut Sayyid Hasan Sodri,
pertama kali mengkodifikasikan hadits adalah Abu Bakar bin Hazm. Karena Ibn
Hazm lah yang pertama kali menerima iteruksi dari khalifah untuk
mengkodifikasikan hadits. Baru kemudian disusun surat perintah untuk imam
Al-Zuhry untuk mengkodifikasikan hadits
Dari ketiga pendapat tersebut,
terlihat adanya perbedaan perspektif. Rasyid Ridlo memandangnya bahwa
kodifikasi resmi dan kodifikasi personal itu tidak ada bedanya. Sedangkan
jumhur membedakan antara kodifikasi resmi dan kodifikasi personal. Sementara
Sayyid Hasan Sodri melihatnya dari sisi penginteruksian kodifikasi dari
khalifah. Dengan demikian, pada dasarnya ketiganya mengakui bahwa Imam al-Zuhry
telah berjasa mengkodifikasikan hadits. Perbedaannya dalam hal siapa yang
pertama mengkodifikasikan hadits. ( ibid )
III. KESIMPULAN
Dari makalah yang telah kami uraikan
diatas, maka dapatlah kita menjawab rumusan masalah serta dapat mengambil
kesimpulannya yaitu:
1. Pada
masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits telah banyak ditulis oleh para
sahabat-sahabatnya. Ini dapat dibuktikan dengan adanya riwayat yang menerangkan
bahwa sahabat Rasulullah SAW yaitu Ali bin Abi Thalib mempunyai sebuah shahifah
yang mana di dalamnya tertulis tentang hukum-hukum diyat. Walaupun Rasulullah
SAW disisi lain pernah melarang penulisan hadits dengan sabdanya yang artinya
“janganlah menulis apa-apa selain Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis
apa-apa dari saya selain Qur’an (yakni hadits) hendaklah menghapusnya (HR
Muslim).
Akan tetapi pelarangan penulisan ini dikarenakan beberapa faktor,
yaitu:
(a). Berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak
yang “ummi” (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu ilahi masih
turun (Qur’an), jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat
membedakan Qur’an dan Hadits, sehingga terjadi percampuran antara
keduanya.
(b). Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan
kemampuan mereka untuk memelihara semua ajarannya (hadits) tanpa catatan
(tulisan).
Namun di kesempatan lain Rasulullah
sendiri pernah menyuruh sahabatnya untuk menulis Hadits, Rasulullah bersabda
yang artinya: “Tulislah dari saya, demi dzat yang diriku di dalam
kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang haq (HR Abu
Daud)”. Sebagai alasan logis daripada perintah penulisan Hadits yakni:
(a). Diantara para sahabat, ada yang telah pandai menulis,
(b). Diantara para
sahabat, ada yang kurang kuat ingatan/ hafalanya.
(c). Untuk memberi petunjuk
yang lebih jelas dan orisonal kepada para petugas Rasul di daerah-daerah yang
memerlukan adanya dokumen tertulis.
2. Kodifikasi
hadits secara resmi dimulai pada abad II hijriyah, yakni pada masa pemerintahan
khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tahun 101 hijriyah. Khalifah Umar melihat, bahwa
Rasulullah dan khulafa’ur rasyidin tidak membukukan Hadits Rasul, diantara
sebabnya di khawatirkan bercampurnya antara Hadits dan al-Qur’an, sedangkan
pada masa khalifah Umar memerintah, al-Qur’an telah selesai dikodifikasi dan
telah lestari. Dengan demikian, maka bila Hadits-Hadits Rasul dikodifikasi maka
tidak akan menggganggu kemurnian al-Qur’an. Atas dasar pertimbangan itulah,
maka pada tahun 100-101 hijriyah, Umar bin Abd Aziz menulis surat intruksi
kepada para gubernur dan juga kepada para ulama untuk membukukan hadits. Selain
dari tidak adanya keraguan akan bercampurnya hadits Nabi dengan al-Qur’an,
kodifikasi hadits didasarkan pada makin berkembangnya hadits-hadits maudhu yang
sangat meresahkan umat Islam pada saat itu.
3. Adanya
pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi - implikasi terhadap perkembangan
pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul
hadits itu sendiri khususnya.
a. Implikasi
Praktis. Implikasi praktis dapat saya uraikan menjadi beberapa bagian di bawah
ini:
(1). Memudahkan pencarian hukum-hukum syari’at mengingat hadits sebagai
sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Berhukum dengan hadits Nabawi
merupakan kebutuhan agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya
hadits-hadits tersebut telah disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh.
Seperti kitab-kitab sunan dan lain-lain.
(2). Memudahkan penilaian hadits
karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh peneliti sebelumnya.
(3). Terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi SAW. Banyaknya berita- berita yang
sampai ke hadapan kita dengan mengatasnamakan Nabi SAW, sering membuat kita
ragu akan kebenaran berita tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi SAW, yang
terwakili dengan hadits shahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad SAW dapat
terpelihara.
(4). Memungkinkan adanya penulisan-penulisan buku-buku hadits baru
setelah Penulisan kitab-kitab terdahulu.
b. Implikasi
Teoritis adalah:
(1), Hadits ahad dapat diterima.
(2). Ilmu hadits akan
berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh
hadits.
(3). Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit. Namun
tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir
dengan baik oleh penulis.
0 comments:
Post a Comment