Mengganti Puasa orang yang meninggal
Seorang yang meninggal dunia dan mempunyai hutang
puasa dan belum sempat membayar hutang puasa tersebut karena belum
memungkinkannya, alias tidak sengaja, misalnya karena waktu yang tidak cukup,
atau sakit atau bepergian sehingga tidak sempat puasa. Menurut mayoritas ulama,
orang seperti itu tidak terkena tanggungan apa-apa, tidak harus membayar fidyah
dan tidak dosa, karena ia tidak melakukan kesengajaan meninggalkan puasa. Orang
tersebut juga tidak diwajibkan qadla puasa.
Apabila orang yang meninggal tadi sengaja menunda
membayar hutang puasa sehingga meninggal dunia, padahal ia punya waktu untuk
membayarnya, maka menurut mazhab Syafii dan Hanbali, ia terkena fidyah.
Keluarganya diharuskan membayar fidyah untuk satu harinya senilai 675 gram harga
beras. Pendapat ini didasarkan kepada hadist Ibnu Abbas: ”Tidaklah seseorang
sholat untuk seseorang yang lain, tidaklah seseorang berpuasa untuk seseorang
yang lain, akan tetapi memberi makan untuknya untuk mengganti setiap hari
sebanyak satu mud (675 gram) gandum” (h.r. Nasa’i). Riwayat serupa juga datang
dari sahabat Aisyah r.a. dan Ibnu Umar r.a. Apabila orang tersebut mempunyai
harta, maka biaya fidyah diambilkan dari peninggalannya.
Alasan kedua, bahwa puasa adalah ibadah badan murni. Semua ibadah badan
murni tidak boleh digantikan oleh orang lain seperti sholat dan wudlu.
Menurut mazhab Hanbali, selain diwajibkan membayar fidyah, wali dari
almarhum juga disunnahkan melakukan qadla puasa yang ditinggalkan. Alasannya
dengan melakukan qadla, maka itu lebih menjamin dalam membebaskan mayit dari
tanggungan puasanya.
Beberapa ulama seperti Abu Tsaur, Auza’I dan Dawud al-Dhahiri mengatakan
bahwa seseorang yang meninggal dunia dan mempunyai hutang puasa, baik itu puasa
Ramadhan atau puasa nadzar, maka wali orang tersebut harus melakukan qadla
puasa untuknya. Pendapat tersebut dilandaskan pada hadist sahih riwayat Aisyah
r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa meninggal dan ia mempunyai
tanggunan puasa, maka wali orang tersebut melakukan puasa untuknya”. (h.r.
Bukhari Muslim). Yang dimaksud wali di sini adalah kerabat dekatnya.
Beberapa ulama seperti Nawawi dan Abu Khattab mengatakan, keluarga mayit
diberi keleluasaan memilih antara membayar fidyah atau mengganti puasa.
Keduanya boleh dilaksanakan. Walalahu A’lam.
Dewan Asatidz
*Sumber: al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Dr. Wahbah
Zuhaili
0 comments:
Post a Comment