BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah Agama menunjukkan bahwa
kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan Syari’ah agama itu hanya
dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya
berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya
sebagai formalitas belaka, semua bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya
kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan
pendirian manusia terhadapnya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup
manusia. Etika, moral dan susila adalah pola tindakan yang didasarkan nilai
mutlak kebaikan.
Dalam
makalah ini kami akan mencoba menguraikan secara jelas hubungan antara Etika,
Moral dan Susila, serta pengertian baik buruk dan penentuannya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian dari Etika, Moral, dan Susila ?
2. Apa Hubungan
antara Etika, Moral, dan Susila dengan Akhlak ?
3. Apa
Pengertian Baik Buruk dan Penentuannya ?
C. Tujuan
Masalah
1.
Mengetahui
Pengertian dari Etika, Moral, dan Susila
2.
Mengetahui
Hubungan antara Etika, Moral, dan Susila dengan Akhlak
3.
Mengetahui
Pengertian Baik Buruk dan Penentuannya
BAB II
PEMBAHASAN
A A. Pengertian
Etika, Moral, dan Susila
·
Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal-usul
kata), etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti watak
kesusilaan atau adat.
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral). Dari
pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya
menentukan tingkah laku manusia.
ü Adapun arti
etika dari segi istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya.
Ahmad
Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan
jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Selanjutnya Soegarda Poerbakawatja
mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, serta
berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengetahuan tentang
nilai-nilai itu sendiri.
Pengertian etika lebih lanjut
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurutnya etika adalah ilmu yang
mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya,
teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan
perbuatan.
Sementara
itu Austin Fogothey, sebagai dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa
etika berhubungan dengan seluruh ilmu penegetahuan tentang manusia dan
masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan
ilmu hukum.
Berikutnya
dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral,
yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik,
buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Selanjutnya
Frankena, sebagai juga dikutip Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa etika
adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat
tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.
Dari
beberapa definisi etika tersebut dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan
dengan empat hal sebagai berikut.
·
Dilihat dari
segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia.
·
Dilihat dari
segi sumbernya, etika bersumber pada akal fikiran atau filsafat. Sebagai hasil
pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal.
Ia terbatas, dapat berubah, memilki kekurangan dan kelebihan. Selain itu etika
juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas prilaku manusia seperti ilmu
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama
memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia.
·
Dilihat dari
segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut
akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan
demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah prilaku yang dilaksanakan
oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan
bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai
untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan
manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian system nilai-nilai yang ada.
·
Dilihat dari
segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan
tuntunan zaman.
Dengan
ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof
barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada
pemikiran etika, karena berasal dari hasil berpikir. Dengan demikian etika
sifatnya humanistis dan anthropocentris.
·
Moral
Adapun
arti moral secara bahasa berasal dari bahasa latin, Mores yaitu jamak
dari kata Mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap
perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya
moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang
secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya
pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of
Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral
sebagai berikut.
1. Prinsip-prinsip
yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk
2. Kemampuan
untuk memahami perbedaan antara benar dan salah
3. Ajaran atau
gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan
kutipan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai
(ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari
dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa
orang tersebut tingkah lakunya baik.
Jika
pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dan lainnya kita dapat
mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya ditentukan posisinya
apakah baik atau buruk.
Namun
demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan yaitu:
· Kalau dalam
pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaraan
moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang
dan berlangsung di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang
digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat,
kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan
moral sama artinya dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Dalam perkembangan selanjutnya
istilah moral sering pula didahului oleh kata kesadaran, sehingga menjadi
istilah kesadaran moral. Ahmad Charris Zubair dalam bukunya berjudul Kuliah
Etika mengatakan bahwa kesadaran moral merupakan factor penting untuk
memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila, dan
perbuatannya selalu sesuai dengan norma yang berlaku. Kesadaran moral ini
didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental.
Orang yang memiliki kesadaran moral
akan senantiasa jujur. Sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya, tindakan
orang yang bermoral tidak akan menyimpang, dan selalu berpegang pad nilai-nilai
tersebut. Hal ini terjadi karena tindakan orang yang bermoral itu berdasarkan
atas kesadaran, bukan berdasar pada sesuatu kekuatan apa pun dan juga bukan
karena paksaan, tetapi berdasarkan kesadaran moral yang timbul dan dalam diri
yang bersangkutan.
Kesadaran moral erat pula
hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience,
conscientia, gewissen, geweten, dan dalam bahasa arab disebut dengan qalb,
fu’ad. Dan kesadaran moral itu mencakup tiga hal.
1.
Perasaan
wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Perasaan ini telah
ada dalam setiap hati nurani manusia, siapapun, dimanapun, dan kapanpun.
Kewajiban tersebut tidak dapat ditawar-tawar, karena sebagai kewajiban maka
andai kata dalam pelaksanaannya tidak dipatuhi berati suatu pelanggara moral.
Adanya perasaan wajib ini menunjukkan bahwa suara batin harus selalu ditaati,
karena suara batin justru sebagai kesadaran bahwa seseorang merasa mempunyai
beban atau kewajiban mutlak, untuk melaksanakan sesuatu, tidak ada kekuatan
apapun yang berhak mengganggu atau menghalangi pelaksanaannya. Orang yang
memiliki kesadaran moral dalam bentuk perasaan wajib tersebut akan senantiasa
mau berusaha menegakkan kebenaran, kejujuran, dan kesamaan, walaupun tidak ada
orang lain yang menyuruhnya. Perasaan tersebut demikian kuat, sehingga Ia siap
menghadapi siapa saja yang coba-coba menghalanginya.
2. Kesadaran
moral dapat juga berwujud rasional dan obyektif, yaitu suatu perbuatan yang
secara umum dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang obyektif dan dapat
diberlakukan secara universal, artinya dapat di setujui, berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis.
Dalam masalah rasionalitas kesadaran moral itu, manusia meyakini bahwa akan
sampai pada pendapat yang sama sebagai suatu masalah moral, dengan ketentuan
manusia tersebut bebas dari paksaan dan tekanan, tidak mencari keuntungan
sendiri, tidak berpihak, bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang
berlaku umum, pengetahuan jernih dan pengetahuan yang berdasarkan informasi
yang obyektif.
3. Kesadaran
moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan. Atas kesadaran moralnya
seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam menentukan prilakunya dan
didalam penentuan itu sekaligus terpampang nilai manusia itu sendiri.
Berdasarkan
pada uraian tersebut kita dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih
mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau
diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau system hidup tersebut diyakini oleh
masyarakat yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman.
Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional,
berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging
dalam diri seseorang maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang
demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada
dorongan atau paksaan dari luar. Orang yang demikian adalah orang yang memiliki
kesadaran moral, atau orang yang telah bermoral.
·
Susila
Susila
atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran
an. Kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Su dan Sila.
Su berarti baik, bagus dan Sila berarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau
norma.
Kata
Susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik.
Orang yang susila adalah orang yang berkelakuan baik, sedangkan orang yang a
susila adalah orang yang berkelakuan buruk. Pada pelaku Zina (pelacur) misalnya
sering diberi gelar sebagai Tuna Susila.
Selanjutnya
kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Dan
kesusilaan sama dengan kesopanan. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu
kepada upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan
hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kesusilaan menggambarkan keadaan dimana orang selalu menerapkan nilai-nilai
yang dipandang baik.
Sama
halnya dengan moral, pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik
juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat dan mengacu
kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.
B. Hubungan
Etika, Moral, dan Susila dengan Akhlak
Dilihat
dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila, dan
akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang
dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Kesemua istilah tersebut
sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman,
damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriah.
Namun
demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan
membutuhkan. Dengan jelas bahwa etika, moral, susila berasal dari produk rasio
dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan
baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu,
yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Dengan kata
lain jika etika, moral, dan susila berasal dari manusia, sedangkan akhlak
berasal dari Tuhan.
Dalam
pelaksanaannya norma akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu
sifatnya dalam keadaan “belum siap pakai”. Jika al-Qur’an misalnya menyuruh
kita berbuat baik kepada ibu-bapak, menghormati sesame kaum muslimin, dan
menyuruh menutup aurat, maka suruhan tersebut belum dibarengi dengan cara-cara,
sarana, bnetuk dan lainnya. Bagaimanakah cara menghormati kedua orang tua tidak
kita jumpai dalam al-Qur’an dan al-hadis. Demikian pula bagaimana cara kita
menghormati sesama muslim dan menutup aurat juga tidak kita jumpai dalam
al-Qur’an. Cara-cara untuk melakukan ketentuan akhlak yang ada dalam al-Qur’an
dan al-hadis itu memerlukan penalaran atau ijtihad para ulama dari waktu
kewaktu. Cara menutup aurat, model pakaian, ukuran dan potongannya yang sesuai
dengan ketentuan akhlak jelas memerlukan hasil pemikiran akal pikiran manusia
dan kesepakatan masyarakat untuk menggunakannya. Jika demikian adanya maka
ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam etika, moral dan susila yang
merupakan produk akal pikiran dan budaya masyarakat dapat digunakan sebagai
alat untuk menjabarkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an. Tanpa
bantuan usaha manusia dalam bentuk etika, moral dan susila, ketentuan akhlak
yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah akan sulit dilaksanakan.
Dengan
demikian keberadaan etika, moral dan susila sangat dibutuhkan dalam rangka
menjabarkan dan mengoprasionalkan ketentuan akhlak yang terdapat didalam
al-Qur’an. Disinilah letak peranan dan etika, moral, dan susila terhadap
akhlak.
C. Pengertian
Baik Buruk dan Penentuannya
·
Pengertian Baik dan Buruk
Dari
segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab,
atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya Munjid
mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai
kesempurnaan. Dan yang baik adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran
Definisi
kebaikan tersebut terkesan anthropocentris, yakni memusat dan bertolak
dari sesuatu yang menguntungkan dan membahagiakan manusia. Pengertian yang baik
demikian tidak ada salahnya karena secara fitrah manusia memang menyukai
hal-hal yang menyenangkan dan membahagiakan dirinya.
Mengetahui
sesuatu yang baik sebagaimana diebutkan di atas akan mempermudah dalam
mengetahui yang buruk. Dalam bahasa Arab yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr,
dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang
seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, dibawah standar, kurang dalam nilai,
tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, sesuatu yang
tercela dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang
berlaku. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu yang dinilai
sebaliknya dari yang baik, dan tidak disukai kehadirannya oleh manusia.
·
Penentuan Baik dan Buruk
Sejalan
dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan
orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna
berhubungan erat dengan pandangan filsafat tentang manusia. Poedjawijatna lebih
lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai
baik dan buruk yaitu Hendonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme,
religiosisme dan humanisme.
Sementara
itu Asmarana As, menyebutkan sebanyak empat aliran fisafat, yaitu adat
kebiasaan, hendonisme, intuisi, dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan Asmaran
As tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang mempengaruhi
penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu adat istiadat, hendonisme,
utilitarianisme dan evolusi.
Beberapa
kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa
di antara aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut
dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut :
1. Baik Buruk
Menurut Aliran Adat Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik dan buruk
ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan
adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang
mengikuti dan berpegang teguh pada adat istiadat dipandang baik, dan orang yang
menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk dan jika perlu
dihukum secara adat.
Poedjawijatna lebih lanjut
mengatakan bahwa harus diakui bahwa aliran ini banyak mengandung kebenaran,
hanya secara ilmiah kurang memuaskan, karena tidak umum. Kerapkali suatu adat
kebiasaan dalam suatu masyarakat dianggap baik, sedangkan dalam masyarakat lain
dianggap tidak baik. Kita tidak punya punya hak untuk menghukum adat yang ini
buruk dan yang itu buruk tetapi yang dikatakan adalah bahwa adat istiadat itu
sukar dijadikan ukuran umum karena tidak umumnya itu. Hal ini bisa dimaklumi
karena adat istiadat pada hakikatnya produk budaya manusia yang sifatnya nisbi
dan relative.
2. Baik dan
Buruk Menurut Aliran Hendonisme
Aliran hendonisme adalah aliran
filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada pemikiran filsafat yunani,
khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya
dikembangkan oleh Cyrenics sebagaimana telah diuraikan di atas, dan belakangan
ditumbuh kembangkan oleh Frued.
Menurut paham ini banyak yang
disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan
kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis. Namun demikian Epicurus
lebih mementingkan kelezatan akal dan rohani ketimbang kelezatan badan, karena
kelezatan akal dan rohani itu lebih lama dan lebih kekal daripada kelezatan
badan.
3. Baik dan Buruk
Menurut Paham Intuisisme (humanisme)
Intuisi adalah merupakan kekuatan
batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk dengan sekilas
tanpa melihat akibatnya. Kekuatan batin atau disebut juga dengan kata hati
adalah merupakan potensi rohaniah yang secara fitrah telah ada pada diri setiap
orang. Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan
insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.
Menurut paham ini perbuatan yang
baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati
nurani atau kekuatan batin yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya perbuatan
buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandang
buruk. Penentuan terhadap baik buruknya tindakan yang kongkret adalah perbuatan
yang sesuai dengan kata hati orang yang bertindak.
4. Baik dan
Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti
berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini
berlaku bagi perorangan disebut individual dan jika berlaku bagi masyarakat dan
Negara disebut sosial. Paham penentuan baik buruknya berdasarkan nilai guna ini
mendapat perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan di bidang
tehnik cukup meningkat dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun
demikian paham ini terkadang cenderung ekstrem dan melihat kegunaan hanya dari
sudut pandang materialistik. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa
saja yang dianggap ada gunanya sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.
Namun demikian keguanaan dalam arti
bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan
yang bersifat rohani juga bisa diterima, dan keguanaan bisa juga diterima jika
yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
5. Baik dan
Buruk Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik adalah
yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang
menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih
lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan
menang itulah yang baik. Paham vitalisme ini pernah dipraktekkan para penguasa
di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan
kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme,
dictator dan tiranik. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status sosial
untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkannya menjadi
pegangan bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku mengingat orang-orang yang lemah
dan bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju,
dimana ilmu pengetahuan dan keterampilan sudah mulai banyak dimiliki
masyarakat, paham vitalisme tidak akan mendapat tempat lagi, dan digeser dengan
pandangan yang bersifat demokratis.
6.
Baik Buruk
Menurut Paham Religiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik
adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk
adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini
keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan
penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai kehendak Tuhan, jika
yang bersangkutan tidak beriman kepadanya.
7. Baik Buruk
Menurut Paham Evolusi
Mereka yang mengikuti paham ini
mengatakan bahwa segala yang ada di ala mini mengalami evolusi, yaitu
berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya. Pendapat ini bukan
hanya berlaku pada benda-benda yang tampak seperti binatang, manusia, dan
tumbuh-tumbuhan tetapi juga berlaku pada benda yang tak dapat dilihat atau
diraba oleh indra.
Dalam sejarah paham evolusi Darwin
(1809-1882) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan
teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The
Origin of Species. Dikatakan bahwa
perkembangan ala mini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :
· Ketentuan
alam (selection of nature)
· Perjuangan
hidup (struggle for life)
· Kekal bagi
yang lebih pantas (survival for the fit test).
BAB III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas bahwa antara akhlak islam yang bersumber pada wahyu dapat
menerima atau mengakui peranan yang dimainkan oleh etika, moral, dan susila,
yaitu sebagai sarana atau partner untuk menjabarkan akhlak islam yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-hadis, sepanjang etika, moral dan susila itu sejalan
dengan al-Qur’an dan al-hadis tersebut.
Dengan
demikian ajaran akhlak disamping memiliki nilai-nilai yang bersifat mutlak,
absolute, dan universal sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-hadis, juga
menerima ajaran yang bersifat rasional, lokal dan cultural. Sehingga ajaran
islam dapat hadir dan diterima oleh seluruh lapisan sosial.
Dengan kata lain, akhlak islam dari
satu sisi mengakui adanya nilai-nilai yang absolute, universal dan mutlak,
sedangkan pada sisi lain menerima keadaan yang bersifat budaya dan cultural,
atau akhlak islam itu disamping menerima adanya universalitas juga mengakui
adanya variasi dan perbedaan-perbedaan.
Sesuatu
yang disebut baik atau buruk itu relative sekali, karena bergantung pada pandangan
dan penilaian masing-masing yang merumuskannya. Dengn demikian nilai baik atau
buruk bersifat subyektif karena bergantung kepada individu yang menilainya.
Aliran
filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut adalah Baik Buruk Menurut Aliran
Adat Istiadat (Sosialisme), Baik Buruk Menurut Aliran Hendonisme, Baik Buruk
Menurut Paham Intuisisme (Humanisme), Baik Buruk Menurut Paham Utilitarianisme,
Baik Buruk Menurut Paham Vitalisme, Baik Buruk Menurut Paham Religiosisme, dan
Baik Buruk Menurut Paham Evolusi.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Charris Zubair, Kuliah Eika, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1980), cet.II, hlm.13.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.XII, hlm.278.
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (terj.) K.H.
Farid Ma’ruf, dari judul asli, al-Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), cet.III, hlm.3.
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan,
(Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm.82.
Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta:
Taman Siswa, 1966), hlm.138.
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta Rajawali
Pers, 1992), cet.I, hlm.8.
0 comments:
Post a Comment